Please activate JavaScript!
Please install Adobe Flash Player, click here for download

GE 48 web

76 global energI EDisi 47 I OKTOBER 2015 Kedua skema yang ditawarkan ke Kon- traktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), yak- ni Net PSC dan Gross split PSC Sliding Scale. Tawaran ini guna menggenjot pro- duksi shale gas dan gas metan batubara atau coal bed methane (CBM).“Setelah melalui diskusi bersama SKK Migas akhirnya kami sepakat menambah dua format kontrak baru itu,” kata Direktur Pembinaan Usaha Hulu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto. Dalam penerapan format Net PSC, jelas Djoko, angka produksi bersih gas akan dibagi (equity to be split) antara pemerintah dan kontraktor setelah diku- rangi jatah kontraktor atau first tranche petroleum (FTP) dan kompensasi biaya (cost recovery). Yang membedakan format ini dengan PSC, katanya, terletak pada penerapan mekanisme sliding scale (skala berjen- jang) dalam persentase bagi hasil yang disesuaikan dengan angka produksi. “Jadi di (format) net PSC, cost recovery tetap ada tapi ada sliding scale yang besarannya tidak fix,” katanya. Contohnya jika produksinya 1 BCF (billion cubic feet) investor akan men- dapat bagian (split) yang lebih banyak. Tapi kalau nanti produksinya sampai 2 sampai 10 BCF split-nya 3 persen untuk pemerintah, 97 persen untuk kontrak- tor. Kalau sampai 100 BCF ke atas akan 25 persen (pemerintah),75 persen (kon- traktor). Sementara dalam format Gross split PSC Sliding Scale, angka produksi bersih gas akan dibagi (equity to be split) untuk pemerintah dan kontraktor tanpa harus dipotong oleh komponen jatah kontrak- tor (FTP) dan cost recovery. Dia mene- rangkan, format ini menyerupai skema royalti and pajak dengan penambahan mekanisme skala berjenjang. “Tapi for- mat besarannya (sliding scale) pasti akan sedikit berbeda dengan Net PSC,” jelas- nya. Dalam sektor migas, Gross Split PSC Sliding Scale dikenal sebagai kontrak kerja sama yang langsung membagi pen- dapatan kotor dari suatu wilayah ker- ja antara pemerintah dan kontraktor. Dengan demikian, tidak ada lagi istilah cost recovery dalam kontrak kerjasama migas non-konvensional karena peme- rintah karena tidak perlu lagi mengganti biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor. Kendati demikian, lanjut Djoko, pemerintah tetap akan memberikan kesempatan kepada kontraktor untuk tetap memilih PSC jika merasa format tersebut lebih menguntungkan. “Silakan saja kalau mereka mau. Yang pasti kami mengajukan dua format baru itu untuk meningkatkan produksi CBM yang sekarang tak lebih dari 0,3 MMSCFD. Padahal pengembangan CBM dan shale gas sendiri dari 2008 lalu,” tuturnya. Guna memuluskan rencana ini, lan- jut dia, pemerintah akan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM terbaru. Ia pun meyakini kehadiran dua format rezim fiskal baru tadi mampu menggenjot pe- ngembangan gas non-konvensional di Indonesia. “Targetnya kalau bisa awal tahun depan sudah bisa diterapkan. Aturan ini sekaligus untuk shale gas ya,” ujar mantan Direktur Bahan Bakar Mi- nyak (BBM) Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) tersebut. Sebelumnya anggota Komite Non Konvensional Indonesia Petroleum Association (IPA) Moshe Rizal Husin mengatakan, perusahaan migas non- konvensional, khususnya CBM memu- tuskan untuk berhenti beroperasi saat ini. Mereka menunggu kepastian janji pemerintah untuk mengeluarkan kebi- jakan baru terkait sistem kontrak kerja sama migas non-konvensional. “Banyak perusahaan yang menyetop kegiatan eksplorasi CBM-nya seperti Med- co, Vico, Sugico, Dart, Ephindo,” katanya. Meski menghentikan aktivitas opera- sionalnya, perusahaan-perusahaan ter- sebut tidak lantas menutup kegiatan usahanya. Penghentian operasi ini hanya sementara hingga pemerintah mengelu- arkan terkait sistem fiskal yang baru untuk migas non-konvensional. Aturan yang ada saat ini dianggap kurang menarik.Bahkan cenderung merugikan kontraktor. Saat ini, sistem kontrak kerj asama dan aturan fiskal untuk migas non-kon- vensional disamakan dengan migas kon- vensional. Padahal, kata Moshe, bisnis migas non-konvensional seperti CBM masih baru dan membutuhkan banyak uji coba (trial and error) agar bisa berha- sil. Berbeda dengan migas konvensional yang sudah puluhan tahun ada, sehingga sistemnya pun seharusnya dibedakan. Hingga saat ini kontraktor CBM telah Djoko Siswanto. DIREKTUR Pembinaan USAHA HULU ESDM

Pages Overview