Please activate JavaScript!
Please install Adobe Flash Player, click here for download

GE 48 web

global energI EDisi 48 I NOVEMBER 2015 5 ‘Ramai-Ramai’ Kontrak Freeport Dr.Ibrahim Hasyim Pemimpin Umum S aat ini PT Freeport Indonesia secara resmi sedang menanti keputusan pemerintah terkait kelanjutan kontraknya di Papua. Padahal , Seperti diketahui, berdasarkan Peraturan Pemeritah Nomor 77 Tahun 2015, tentang Perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara, perpanjangan kontrak tambang baru bisa dilakukan paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir. Hanya saja, “ramai-ramai” perpanjangan kontrak tersebut sedikit membuat gaduh di tanah air. Ada yang curiga dan ada pula yang kuatir. Kondisi ini mengingatkan kita pada ramai ramai soal perpanjangan kontrak blok Mahakam beberapa waktu yang lalu. Yang menjadi pertanyaannya, ada apa di belakang kegaduhannya. Kita perlu melihat dari dua sisi, dari sisi produsen PT Free Port dan dari sisi kita Indonesia sebagai pemilik. Kita tidak bisa menafikkan bahwa sebagai industri pertambangan, sangatlah erat dan sarat keterkaitannya dengan teknologi, modal dan risiko. Buat sebuah korporasi kepastian investasi adalah sangat penting dan itu harus tersaji dalam bentuk dokumen. Maka masa 2 tahun sebelum habis kontrak itu menjadi penting , apakah waktu itu cukup untuk perencanaan sebuah investasi. Sebaliknya bagi Republik ini, tidak ada lain daripada bagaimana pertambangan di Timika itu dapat memberi manfaat yang sebesar besarnya bagi negara dan secara spesifik bagi Papua agar dapat lebih cepat membangun kesejahteraannya. Papua telah mengajukan keinginannya. Ada 17 macam tuntutan Pemda dan 11 macam sudah di penuhi, antara lain penyimpanan uang di Bank Papua, putra putri Papua bisa menduduki posisi penting dan tinggi dan nilai Community Social Responsibility (CSR) diperbesar. Yang masih sedang dibahas dengan Freeport adalah terkait dengan penyempitan wilayah kerja, pembangunan smelter, penerimaan negara, local content dan perpanjangan kelanjutan usaha. Persoalan persoalan inilah yang menuntut adanya kepastian bagi investor , karena kandungan risiko untuk pertimbangan investasi menjadi mengemuka. Lalu bagaimana penyelesaiannya? Salah satu cara pemerintah agar dapat memberikan kepastian kepada Freeport alias memberikan keputusan perpanjangan kontrak sebelum 2019, adalah mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Tetapi berbagai penolakan dari berbagai kalangan bermunculan. Sekalipun demikian, pembahasan atas sisa tuntutan terus berjalan. Terbaru yang menjadi polemik, yakni soal divestasi saham PT Freeport 10,64%. Apa lagi dan tentu akan semakin alot karena masalah yang tersisa secara umum adalah masalah yang paling rumit. Sejumlah kalangan mengatakan, pemerintah terkesan selalu lemah. Akibatnya muncul anggapan, bahwa industri tambang asal Amerika Serikat itu memang anak emas dengan sejumlah priviledge. Masalah perpanjangan kontrak Freeport, sejatinya bukan hal utama, karena itu Pemerintah sebaiknya fokus terhadap renegosiasi kontrak karya, yang lebih baik dan lebih berkeadilan bagi Indonesia. Pada tahun tahun mendatang, akan ada sejumlah kontrak di dunia pertambangan nasional yang akan habis masa kontrak. Kita harapkan sejumlah pelajaran berharga dapat dipetik dari kasus blok minyak Mahakam dan Freeport ini, untuk modal bernegosiasi yang lebih berkeadilan dimasak depan. Kembali ke penyelesaian masalah Freeport, sebenarnya konsisten saja terhadap konstitusi dan Undang Undang. Di awal kontrak, pemerintah belum punya undang-undang undang tentang minerba atau undang-undang tentang lingkungan hidup dan lainnya. Tapi sekarang kan ada UU tentang Minerba dan undang-undang lainnya. Ini yang seharusnya dijadikan tolok ukur bagi pemerintah. global energI EDisi 48 I NOVEMBER 20155

Pages Overview