Please activate JavaScript!
Please install Adobe Flash Player, click here for download

Bisnis Bandung Edisi 249

SMS ANDA Bisnis Bandung Edisi 249 - Tahun V Desember 201502 Opini SAMPURASUN ASPIRASI PEMIMPIN UMUM: Satria Naradha, WAKIL PEMIMPIN UMUM: K. Dharmayasa, PEMIMPIN PERUSAHAAN: Dewiyanti, PEMIMPIN REDAKSI/ PENANGGUNG JAWAB: H. Us Tiarsa, REDAKTUR PELAKSANA: Deddy Gunadi Komar, Suparman Watmadihardja, REDAKTUR: Herdi, TATA LETAK/ LAY OUT: Asep Hermawan, AB. Syukur, TATA USAHA / IKLAN: Dani Mardan, SIRKULASI/ DISTRIBUSI: Adi Putra, KANTOR PUSAT/ REDAKSI JAKARTA: Gedung Pers Pancasila Jalan Gelora VII No. 32 Palmerah Jakarta Pusat. Telp. (021) 5356272 - 5357602, Fax (021) 53670771. REDAKSI/ IKLAN BANDUNG: Gedung Pers Bandung Jl. Pacuan Kuda No. 63Arcamanik Bandung Telp. (022) 7213862 - 7213863. www.bis- nisbandung.com, INFORMASI: info@bisnisbandung.com, MARKETING: marketing@bisnisbandung.com, IKLAN: iklan@bisnisbandung.com, REDAKSI: redaksi@bisnisbandung.com, HARGA IKLAN: ADVERTORIAL BW = Rp.3.000,-/mmk, FC = Rp. 4.500,-/mmk, :GALERI BANDUNG = Rp. 250.000,- , DISPLAY: BW = Rp.3.500,- / mmk, FC = Rp.5.000,- / mmk, BLOG: bisnisbandungonline.blogspot.com, WEBSITE : bisnisbandung.co.id PENERBIT/ PERCETAKAN: PT. SNP WARTAWAN BISNIS BANDUNG SELALU MEMBAWA TANDA PENGENAL, DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA / MEMINTAAPAPUN DARI NARASUMBER 0812223153xx HOREEE…Korpri milad ke-44, rakyat ingin menyak- sikan birokrasi yang bersih dan akuntabel. Bukan seba- liknya pelayanan buruk. 081122079Xx BADAN POM kembali temukan 54 jenis obat tradi- sional (OT) ber- bahan kimia obat (BKO) bisa menyebabkan kematian. Ayo tindak produsennya. 0813211246xx TOLONG razia parkir di Miko Mal Kopo Bandung. Dalam tempo satu jam lebih satu menit harus bayar Rp6.000. Apa aturannya harus dibulatkan jadi dua jam? 081224244xx KEGADUHAN dan kisruh perpolitikan makin panas, karena minimnya moralitas dan humanisme!!! Standarisasi Kesejahteraan Petani HARGA beras di pasar mulai bergerak naik. Kenaikan har- ga itu berkaitan erat dengan pasokan beras dari petani yang menurun akibat sebagian besar daerah penghasil padi, mu- lai memasuki musim penghujan. Setiap awal musim hujan, para petani mulai menggarap sawahnya. Biasanya hal itu menjadi pertanda, para petani khususnya petani berlahan sempit mulai memasuki musim paceklik. Sebaliknya, petani berlahan luas, menjadikan musim paceklik sebagai musim mengeruk keuntungan. Mereka melepas padi simpanannya ke pasar dengan harga yang cenderung terus meningkat. Naiknya harga beras selalu menimbulkan gejolak. Para bu- ruh dengan penghasilan tetap / tidak tetap menjadi korban pertama kenaikan harga beras tersebut. Selain kaum buruh, para petani gurem juga semakin terpuruk. Daya beli mereka semakin merosot karena mereka tidak lagi punya persedi- aan padi. Musim tanam padi hampir selalu menguras persediaan padi mereka. Selain habis untuk ongkos menggarap sawah, kebutuhan benih, pupuk, dan obat pemberantas hama, ke- mampuan mereka membeli beras untuk makan sehari-hari semakin menurun. Nasib petani berlahan minim sampai sekarang belum be- ranjak dari keterpurukan. Mereka tidak pernah merasakan nikmatnya kenaikan harga beras. Justru ketika harga beras naik, mereka harus membeli beras dengan harga tinggi padahal mereka tidak punya penghasilan lain kecuali bertani. Jumlah para petani berlahan terbatas jauh lebih be- sar dibanding petani berlahan luas. Karena itu, yang tampak ke permukaan, hanyalah petani gurem. Kehidupan petani yang selalu mengalami musim paceklik berat itulah yang menjadi indikator kehidupan rak- yat Indonesia dari masa ke masa. Jumlah petani gurem itu pulalah yang digunakan sebagai bahan standardisasi pen- dapatan atau nilai pendapatan petani. Standardisasi itu menjadi penting ketika pemerintah akan meningkatkan taraf hidup petani. Tingkat kesejahteraan petani tidak dapat diukur hanya dari luas lahan garapan. Ke- mampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup dari panen ke panen harus juga menjadi acuan. Di samping itu, pemerin- tah atau siapa pun tidak dapat ”memaksa” petani terus menerus hidup dalam kemiskinan. Kewajiban utama pemerintah justru meningkatkan kese- jahteraan rakyat, termasuk petani. Kesejahteraan itu mus- tahil diperoleh petani hanya mengandalkan hasil panen yang sangat rendah akibat lahan yang sempit dan biaya pengolahan lahan sangat mahal. Pada satu sisi, kita berkeinginan, lahan pertanian tidak berkurang. Sawah yang ada sekarang seharusnya tetap, tidak berkurang akibat alih fungsi lahan. Pada sisi lain, kita tidak dapat “memaksa” petani mempertahankan lahan per- taniannya selama-lamanya. Apa yang dapat kita perbuat ketika petani mau menjual la- han pertaniannya karena didorong kebutuhan hidup. Lahan pertaniannya laku dijual ke pihak industri dengan harga cukup tinggi padahal kalau lahan itu diunakan untuk bertani, penghasilan petani tidak cukup untuk hidup dari panen ke panen. Dengan uang hasil penjualan lahan pertaniannya, petani punya peluang beralih profesi menjadi pedagang, pengusa- ha, pelaku industri rumahan, dan sebagainya. Kehidupan- nya bisa jadi akan lebih baik dibanding ketika ia menjadi petani. Bukankah dengan begitu, maksud menyejahterakan petani tercapai? Hal itu bukan berarti kita menafikan niat pemerintah mem- batasi alih fungsi lahan. Kita harus mencari cara yang paling tepat dalam membatasi alih fungsi lahan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Cara yang pertama ialah pemerintah harus berusaha keras meningkatkan kesejahteraan petani. Produktivitas hasil pertanian terus ditingkatkan tanpa merusak lingkungan dan hara tanah. Kedua, pemerintah melindungi kehidupan petani dengan memberi insentif berkelanjutan setiap musim tanam. Ketiga, membeli lahan pertanian dari para petani yang berniat menjual lahannya. Lahan itu menjadi hak pemerintah dan dapat dipertahankan sebagai lahan pertanian. Keem- pat, pemerintah berupaya terus menerus menciptakan/mencetak sawah baru sebagai pengganti la- han yang sudah kadung beralih fungsi. *** EMERINTAHAN Jokowi begitu berambisi untuk menghadirkan investor di tanah air, baik domestik maupun asing. Terutama investor asing karena modalnya pasti kuat. Begitu besarnya ambisi pe- merintahan Jokowi itu sehingga semua tingkatan pemerintahan, mulai dari kabupaten/kota, provinsi, hingga ke pusat diminta untuk memberikan kemu- dahan dalam memproses perizinan untuk investasi. Bahkan Presiden Jokowi sudah menginstruksikan aparat terkait, agar proses perizinan bagi kepenti- ngan investasi dilakukan di bawah satu atap. Sebelumnya, proses perizinan investasi sangat- lah berbelit-belit. Investor harus menunggu berbu- lan-bulan, bahkan sampai dua tahun, untuk bisa megantongi izin. Terlalu banyak instansi yang harus dihubungi oleh calon investor, dalam rangka proses perizinan itu. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa di setiap instansi yang dihubungi terda- pat sejumlah meja yang harus dilalui, yang di mas- ing-masing meja itu calon investor harus mem- berikan sejumlah uang yang sekarang ini disebut gratifikasi. Menunggu dua tahun untuk memperoleh izin in- vestasi, tentu tak semua investor memiliki kesabaran tinggi. Calon investor asing yang tak sabaran memilih hengkang dari tanah air kita, dan memilih negara lain yang prosedur perizinan in- vestasinya tak sebirokratis kita. Hengkangnya calon investor itu tentu merugikan kita sendiri yang selalu saja tak memiliki modal memadai untuk membangun infrastruktur. BaikAPBN maupun APBD komposisinya selalu saja lebih besar anggaran rutin dibanding anggaran pembangunan. Gaji pegawai, insentif pimpinan, perjalanan dinas para anggota dewan, biaya jamuan dan makan- minum pimpinan, serta sederet komponen biaya rutin lainnya selalu lebih besar dari anggaran yang dicadangkan untuk membangun infrastruktur. Se- hingga untuk membangun selalu saja harus men- gantungkan diri pada modal swasta. Oleh karena ketergantungan itulah Presiden Jokowi memerin- tahkan untuk mempermudah pelayanan kepada para investor, khususnya dalam proses perizinan. Jangan Sederhanakan Persyaratan Kendati kita membutuhkan kehadiran para in- vestor tidaklah berarti kita harus memberikan ke- mudahan secara tidak wajar. Persyaratan-per- syaratan untuk investasi tetap harus dipenuhi. Mempermudah proses perizinan berinvestasi tidaklah berarti melewati persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, melainkan mempercepat penanganan penelaahannya. Jika syarat-syarat un- tuk berinvestasi telah dipenuhi, tak ada alasan lagi untuk menahan-nahan surat izin.Adagium yang konon berlaku di lingkungan birokrasi tentang ”kalau bisa diperlambat mengapa mesti diper- cepat” tentu harus dibalik menjadi ”kalau bisa dipercepat mengapa mesti diperlambat”. Pelam- batan seringkali disengaja oleh birokrat yang menanganinya, sampai si calon investor mengerti apa yang dimaui. Menunggu sampai si calon in- vestor ”mengerti “ itulah yang membuat proses perizinan menjadi super -lambat. Mempercepat proses perizinan, sebagaimana ki- ta kemukakan di atas, tidaklah berarti meniadakan sebagian persyaratan yang semestinya dipenuhi oleh calon investor, melainkan bagaimana agar tahapan-tahapan persyaratan itu bisa dilakukan se- cara cepat. Persyaratan-persyaratan yang se- mestinya ditempuh para calon investor, terutama persyaratan yang erat kaitannya dengan pemeli- haraan lingkungan, harus tetap dipenuhi oleh calon investor dengan sikap tanpa kompromi. Kita me- mang membutuhkan uang investor, namun tidak berarti investor memiliki keleluasaan untuk bertin- dak semaunya. ”Kesadaran” bahwa kita membutuhkan kehadi- ran investor telah lama diperlihatkan oleh birokrat di tingkat daerah. Dalam bernegosiasi dengan in- vestor pejabat pemerintahan di daerah seringkali ”tak bergigi”. Mereka tunduk pada keinginan in- vestor. Setiap pemerintah daerah, dengan meli- batkan sebagian besar potensi yang ada di daerah- nya, masing-masing telah memiliki tata ruang yang ideal. Dalam tata ruang itulah diatur di mana daer- ah pertanian, daerah pemukiman, daerah industri, dan daerah-daerah lainnya sesuai dengan karakter lahan dan masyarakatnya masing-masing. Investor yang akan membangun industri se- ringkali merasa tak cocok dengan daerah yang diperuntukkan bagi industri sebagaimana ditetap- kan oleh para pakar tata ruang di daerah tersebut. Para investor itu mengatur pemerintah daerah dalam hal penetapan lahan yang dikehendakinya. Untuk membangun industrinya, para investor pastilah akan memilih tempat yang lokasinya dekat dengan aliran sungai. Pertimbangannya jelas, agar mereka mudah membuang limbah industrinya. Akibatnya, terjadilah pencemaran lingkungan, yang untuk memperbaikinya dibutuhkan biaya yang lebih besar dari pemasukan pemerintah daer- ah yang bersumber dari kegiatan investasi itu, mis- alnya dari pemasukan pajak. Memulihkan kembali pencemaran itu bukan hanya butuh biaya yang tidak murah, melainkan juga butuh waktu yang sangat panjang. Contoh paling nyata adalah apa yang terjadi di Rancaekek. Pada mulanya, daerah tersebut meru- pakan lahan pertaian yang cukup produktif. Oleh karena investor memilih tempat itu untuk pemba- gunan industri, maka tata ruang mesti mengalah. Akibatnya, lahan pertanian di daerah hilir tercemar airnya oleh limbah pabrik tekstil.*** Yayat Hendayana, Dosen FISS Unpas dan Ketua Pengelola Akademi Budaya Sunda Unpas Investor dan Kekacauan Tata Ruang Oleh : Yayat Hendayana UA hari kemarin, tepatnya Senin – Selasa tanggal 30 november – 1 Desember 2015, saya berkesem- patan untuk sharing dengan teman-teman dari salah satu BUMN di Kota Bandung. Sharing ten- tang bagaimana sebuah ekosistem bisnis yang per- lu dikembangkan oleh sebuah perusahaan dalam mencapai sustainable competitive advantage di tengah tingginya tingkat persaingan antar- perusa- haan dan bahkan nantinya dengan pemberlakuan Masyarakat EkonomiASEAN (MEA) tanggal 31 Desember 2015. Kata banyak teman-teman saat ini adalah tinggal menghitung hari, pasar yang memiliki potensi sebesar 600 juta jiwa dan lebih dari 250 juta jiwa ada di Indonesia akan diberlakukan.Akan ada free flow of goods, free flow of services, free flow of people, free flow of investment dan free flow of cap- ital sehingga akan semakin banyak pergerakan bis- nis di negara Indonesia. Hal ini akan menjadi se- buah peluang dan ancaman bagi setiap entrepre- neur. Sharing kemarin menjadi penting ketika saat ini strategi perusahaan dalam menghadapi persaingan yang terjadi adalah membangun, mempertahankan dan mengembangkan sebuah ekosistem bisnis. Kalau dilihat, memang strategi membangun ekosistem bisnis ini perlu menjadi perhatian setiap entrepreneur. Mereka harus memahami konsep dasar tentang bagaimana sebuah bisnis itu layaknya seperti makhluk hidup yang tinggal di se- buah ekosistem yang juga selalu berubah. Ekosistem bisnis, dijelaskan untuk pertama kali oleh James F. Moore dalam Predator and Prey: A New Ecology for Competition di jurnal Harvard Business Review edisi Mei-Juni 1993, ekosistem bisnis adalah komunitas ekonomi yang didukung oleh fondasi berupa interaksi di antara organisasi dan individu yang ada di dalamnya. Merekalah or- ganisme dunia bisnis yang saling membutuhkan. Jelas dari konsep tersebut terlihat bagaimana se- buah institusi bisnis diharapkan membangun se- buah komunitas ekonomi dengan tujuan mem- berikan superior value kepada konsumen yang memiliki need, want, dan demand. Adapun organisasi atau individu yang terdapat dalam ekosistem bisnis terdiri atas supplier, distrib- utor, konsumen sampai pesaing. Selain itu, kalau diluaskan lagi, bisa juga pemer- intah, media, perbankan, komunitas bisnis, asosiasi bisnis. Sebagai seorang entrepeneur yang akan meng- hadapi MEA, tentu keberadaan ekosistem bisnis akan dapat mempercepat perkembangan bisnis dan bahkan dapat mempertahankan bisnis dari sera- ngan pesaing yang notabene saat ini persaingan bukan lagi antar -perusahaan akan tetapi antar- ekosistem bisnis. Sudah saatnya entrepreneur mulai meningkatkan kapabilitas serta kompetensi inti dalam berbisnis sehingga menjadi dasar untuk plat- form yang terdiri atas aset, proses dan norms yang akan menjadi dasar bagi sebuah ekosistem bisnis. Kemudian, entrepreneur perlu memetakan stakeholders mereka dalam bisnis dan peran utama masing-masing stakeholders terhadap bisnis, baik berupa peluang ataupun ancaman serta kekuatan ataupun kelemahan. Hal ini penting dijadikan dasar untuk membangun ekosistem bisnis karena setiap stakeholders memiliki motivasi atau motif dalam bekerjasama. Hal ini akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan kerjasama satu sama lain dan bergerak bersama-sama untuk memberikan su- perior value kepada konsumen. Selanjutnya adalah menetapkan platform yang kuat untuk sebuah ekosistem.Aset yang dimaksud adalah bagaimana intangible asset seperti penge- tahuan dan pengalaman serta tangible asset berupa keuangan, fasilitas, orang yang dpaat digunakan untuk membuat dan mengembangkan ekosistem. Adapun proses yang dimaksud adalah bagaimana proses dalam ekosistem tersebut dapat menjamin kelangsungan aktivitas ekosistem. Sedangkan norms adalah bagaimana entrepre- neur mampu membuat value, habit, belief, aturan- aturan sehingga menjadi sebuah budaya dalam ekosistem bisnis. So, sudah saatnya entrepreneur membangun ekosistem bisnis untuk menghadapi MEA. Meriza Hendri, founder STRABIZ Management Consulting, GIMB Foundation D Oleh : Meriza Hendri Membangun Ekosistem Bisnis Kenapa Beli Helikopter Asing? JIKA pembelian helikopter tahun depan dilaksanakan oleh pemerintah, maka akan menjadi contoh buruk. Sebuah ironi di saat menggenjot pro- duk dalam negeri menjadi tuan di negerinya sendiri, malah pe- merintah yang menganjurkan- nya mencoba mengingkari. Ah … apa kata dunia? In- donesia tidak konsekuen atas jerih payah anak bangsanya. Ini terkait dengan rencana pembelian pesawat helikopter kepresidenan jenis AW-10 un- tuk menggantikan helikopter Super Puma. Konon helikopter AW-10 itu dibuat produsen luar negeri, yakni Agusta Westland, Italia. Rencana pembelian helikopter baru untuk presiden itu dilakukan karena helikopter sebelum- nya, Super Puma sudah tidak layak. Yang menjadi persoalan- nya bukan pengggantiannya, melainkan mengapa tidak mem- beli produksi helikopter dalam negeri. Kalau di dalam negeri mampu membuat helikopter itu, kenapa tidak memakai produk buatan dalam negeri saja? Sebelumnya terbetik kabar akan membeli helikopter AW-101 sebagai pengganti Super Puma, yang telah berumur 25 tahun. Satu unit AW-101 tersebut akan tiba di Indonesia pada 2016, menyusul dua unit lainnya pada 2017. Sejumlah kalangan mengkritik pengadaan helikopter tersebut. Sebab, bukan hanya tak melibatkan industri dalam negeri, tapi harga he- likopter ini dinilai lebih mahal dibanding buatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) di Bandung. PTDI berpengalaman memproduksi helikopter sejenis, seperti EC 725 Cougar, yang merupakan generasi terbaru Su- per Puma versi militer. Dan Undang-Undang 16 / 2012 dan Peraturan Pemerintah 76/ 2014 tentang mekanisme imbal da- gang dalam pengadaan peralatan pertahanan dan keamanan dari luar negeri mewajibkan adanya kandungan lokal sedikit- nya 35 persen dari nilai kontrak. Nah ! Apa kabar produk dalam negeri? Marwan Deswan, Sukajadi Bandung P

Pages Overview